Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Bunda Mulia (UBM) berkesempatan diskusi dengan siswa-siswi SMA Ananda Bekasi, Rabu (19/1). Dalam sesi perdana, hadir dosen muda Ilmu Komunikasi UBM Purnama Ayu Rizky yang sekira dua jam memfasilitasi diskusi soal jurnalisme dasar.
Dari definisi jurnalisme, alur kerja redaksi, fungsi pers di era disrupsi, topik-topik ini diperbincangkan secara cair bersama puluhan peserta yang hadir. Antusiasme mereka pun tampak jelas karena kerap bertanya, berkomentar, atau merefleksikan pengalaman dan cita-cita mereka kelak jika ingin terjun di dunia jurnalistik profesional.
Dosen Ayu memulai penjelasan jurnalisme dasar dengan mengenalkan definisi jurnalistik dan sejarahnya.
“Secara etimologi, jurnalistik merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris, journalism, yang artinya kewartawanan, dan/atau dari Bahasa Belanda, journalistiek yang artinya siaran catatan harian. Praktisnya, jurnalistik adalah pengumpulan, produksi informasi, dan publikasi melalui media. Mac Dougall bilang, jurnalistik adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, & melaporkan peristiwa. Orang yang menjalani aktivitas jurnalistik disebut dengan jurnalis/ wartawan,” tutur Ayu.
Sejarah jurnalistik berawal dari 100 44 SM, yakni pada zaman Romawi Kuno masa pemerintahan Julius Caesar. Adalah “Acta Diurna” atau papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi sekarang), yang diyakini sebagai produk jurnalistik dan juga surat kabar harian pertama di dunia. Pada 911 M, di China muncul surat kabar cetak pertama dengan nama Tching-pao yang diartikan Kabar dari Istana dan pada 1351 M, Kaisar Quang Soo mengedarkan surat kabar Tching-pao untuk dapat dibaca oleh rakyatnya.
Pada 1450 adanya penemuan mesin cetak oleh Johan Guttenberg, sehingga berita – berita penting disiarkan. Pada 1800, mulai berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan majalah seperti Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis). Pada tahun-tahun ini pula, muncul istilah yellow journalism (jurnalisme kuning) di mana koran berlomba-lomba memproduksi berita dengan judul-judul sensasional.
Jurnalistik memiliki berbagai jenis, di antaranya berita (news) yang meliputi hard news dan juga soft news, wartawan tidak boleh memasukan opini mereka dalam kategori berita ini. Yang kedua artikel opini (views) yang memang dapat berisi opini wartawan. Yang ketiga feature (paduan antara news dan views). Yang keempat, multimedia seperti video, infografik , audio, infografis, dan lain – lain.
Setelah menyimak definisi, sejarah, dan perkembangan jurnalisme dari dulu hingga kini, wartawan, kata Ayu, tetap relevan. Kendati semua orang sudah punya sumber daya memadai untuk memproduksi informasi, tapi meminjam penuturan Kovach dan Rossentiels, peran wartawan sudah saatnya mesti berubah dari sekadar sebuah produk—berita atau agenda perusahaan media—menjadi pelayanan yang lebih bisa menjawab pertanyaan konsumen, menawarkan sumber daya, menyediakan alat. Pada level ini, jurnalisme harus berubah dari sekadar menggurui—mengatakan pada publik apa yang harus dan perlu mereka ketahui—menjadi dialog publik, dengan wartawan menginformasikan dan membantu memfasilitasi diskusi.
Lebih lanjut, ada delapan kemampuan wartawan profesional di era disrupsi menurut Kovach dan Rossentiels, yakni:
Terakhir, yang perlu diketahui pula, ada alur kerja yang lebih rigid bagi wartawan profesional dibandingkan wartawan warga misalnya. Jurnalistik profesional memiliki proses atau alur kerja yaitu :
“Universitas Bunda Mulia, Bridging Education To The Real World!”