UBM dan Special Harmony School Selenggarakan Pelatihan Storytelling untuk Anak Berkebutuhan Khusus: Merayakan Suara dalam Keberagaman
Jakarta, 17 April 2025 — Suara tawa dan semangat terdengar menggema dari ruang TUSR Lt. 7 Universitas Bunda Mulia (UBM) pagi itu. Bukan dari mahasiswa seperti biasa, tetapi dari para peserta Istimewa, siswa-siswi dari Special Harmony School, sebuah sekolah anak berkebutuhan khusus di bawah naungan Yayasan Lentera Cita Karya, yang mengikuti Pelatihan Komunikasi Publik dalam Bentuk Storytelling sebagai bagian dari program Pengabdian kepada Masyarakat (PKM).
Kegiatan ini tidak sekadar pelatihan berbicara di depan umum. Lebih dari itu, ini adalah panggung untuk menumbuhkan keberanian, membangun kepercayaan diri, dan mengangkat suara anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) melalui seni bercerita. Diselenggarakan oleh dosen dan mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UBM, pelatihan ini menjadi wujud nyata dari semangat inklusi yang digalakkan dalam dunia pendidikan tinggi.
Storytelling sebagai Media Ekspresi dan Koneksi Emosional dalam Komunikasi Publik
Public speaking, sebagai bagian dari keterampilan hidup (life skill), kerap menjadi tantangan besar, bahkan bagi individu tanpa hambatan komunikasi. Bagi ABK, tantangan ini berlipat ganda. Maka, pendekatan melalui storytelling—metode komunikasi yang melibatkan emosi, imajinasi, dan koneksi antarmanusia—dipilih sebagai bentuk pelatihan yang menyenangkan, aman, dan membangun.
“Storytelling bukan hanya alat untuk berbicara, tetapi juga jendela untuk menyampaikan isi hati, mimpi, dan ide-ide besar dari anak-anak yang selama ini sering diabaikan suaranya,” ujar Yesica Yuliani Clara, S.I.Kom., M.I.Kom, dosen pengampu mata kuliah Presenter Techniques sekaligus koordinator kegiatan PKM ini.
Dalam sesi pelatihan, peserta dibimbing untuk merangkai cerita sederhana, mengekspresikannya dengan suara dan gerak, serta menyampaikannya di hadapan audiens. Beberapa peserta bahkan mempraktikkan storytelling menggunakan alat bantu boneka tangan, yang terbukti memperkuat fokus dan memudahkan komunikasi mereka.
Dalam sesi pelatihan, anak-anak belajar mengekspresikan diri melalui cerita sederhana yang mereka pilih atau buat sendiri. Dengan bimbingan mahasiswa dan dosen Ilmu Komunikasi UBM (Dr. Irene Silviani, S.Sos., MSP, Dr. Tetti Nauli Panjaitan, S.Sos., M.I.Kom, dan Yesica Yuliani Clara, S.I.Kom., M.I.Kom) mereka melatih vocal variety, gesture, serta eye contact yang merupakan unsur penting dalam teknik penyampaian pesan secara efektif.
Menghapus Stigma, Lewat Panggung Komunikasi
Stigma terhadap ABK di masyarakat banyak bersumber dari miskomunikasi dan kurangnya edukasi. Ilmu komunikasi memainkan peran penting dalam menjembatani kesenjangan ini, baik melalui pendidikan publik, media massa, maupun praktik komunikasi interpersonal yang lebih empatik dan terbuka.
Dengan memberikan ruang bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk berbicara dan didengarkan, kegiatan ini sekaligus membentuk opini publik yang lebih positif terhadap potensi ABK. Ini adalah praktik langsung dari communication for social change yang menjadi salah satu fokus dalam kajian ilmu komunikasi kontemporer.
Melalui pelatihan storytelling ini, anak-anak ABK tidak hanya belajar berbicara, tetapi juga belajar bahwa suara mereka penting. Bahwa mereka punya ruang untuk didengar, dihargai, dan diapresiasi. Di sisi lain, Masyarakat, termasuk lingkungan kampus, juga belajar untuk membuka telinga dan hati terhadap keberagaman.
PKM Sebagai Implementasi Ilmu Komunikasi Terapan
Kegiatan ini merupakan bagian dari implementasi mata kuliah Presenter Techniques (IKD10), yang mengajarkan teori dan praktik public speaking. Selain memberikan keterampilan konkret kepada peserta, kegiatan ini juga memupuk kesadaran civitas akademika untuk mengembangkan sensitivitas sosial, pemahaman lintas budaya, serta keberagaman sebagai bagian dari aspek komunikasi. Kegiatan ini juga memberi pengalaman langsung yang memperluas empati dan perspektif mahasiswa sebagai calon komunikator profesional.
Mahasiswa Ilmu Komunikasi belajar tidak hanya menjadi komunikator yang andal, tetapi juga agen perubahan sosial (agents of change) yang mampu menciptakan ruang dialog yang inklusif dan transformatif.
Oleh: Yesica Yuliani Clara, M.I.Kom