Jakarta, 20/10, UBM – Liputan media massa terkait bencana alam masih didominasi oleh liputan pascabencana yang sarat dengan sisi kemanusiaan dan rekonstruksi, sementara sisi prabencana masih terlupakan, kata anggota dewan pakar Forum Peduli Bencana Nasional Dr.Zarman Syah Aman.
Hal tersebut dikemukakan Zarman Syah Aman dalam seminar nasional bertajuk Sinergi Media dalam Penanggulangan Bencana , dengan tema “Participatory News dalam Liputan Bencana” yang dIselenggarakan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Bunda Mulia (UBM) , di Jakarta, Kamis.
Bertindak sebagai pembicara yakni Dr.Zarman Syah Aman dan Pemimpin Redaksi Seputar Indonesia stasiun televisi RCTI Arief Suditomo , serta moderator Setia Budi H.H yang juga Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (Aspikom). Seminar tersebut dibuka oleh Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UBM Drs. Sugeng Wahjudi, Msi.
Menurut Zarman Syah, yang juga staf ahli pimpinan Komisi I DPR-RI, liputan prabencana alam terutama bertema pendidikan kewaspadaan masyarakat menghadapi bencana, justru terlupakan oleh media massa padahal hal tersebut justru sangat penting karena wilayah Indonesia hampir mirip seperti negara Jepang yang berpotensi rawan bencana alam.
Di Jepang sendiri masyarakatnya sangat “sadar bencana” terutama karena kampanye yang gencar dilakukan media massanya.
“Media massa Indonesia dapat berperan penting memberikan pendidikan kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi bencana , berikut tindakan apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana alam,” kata Zarman Syah.
Sementara itu, Pemred Seputar Indonesia RCTI Arief Suditomo mengakui bahwa unsur sensasi kerap masuk dalam kasus pemberitaan bencana oleh media massa di Indonesia.
Dikatakan bahwa pada media televisi, “rating” pemirsa yang tinggi memang selalu dicari oleh setiap stasiun. Kendati demikian, kata dia, “rating” yang tinggi tidak harus didongkrak melalui pemberitaan bersifat sensasi.
Kasus pemberitaan awan panas Gunung Merapi oleh program acara “infotainment” Silet di RCTI yang kemudian dikecam masyarakat dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena bersifat sensasi dan meresahkan warga di kawasan Merapi merupakan pelajaran berharga bagi RCTI, kata dia.
“Pemberitaan itu dilakukan oleh PH (‘Production House’), bukan produksi redaksi RCTI,” kata dia. ***(YAA)